Kamu Akan Tahu Nanti…


Sore menjelang maghrib, dia dan sedihnya, dia yang mengabarkan lewat semesta mendorongku menuliskannya, mengalir meski tak selancar gemericik air kolam di seberang ruangan di mana aku duduk. Memang tulisan ini tidak selancar lainnya, karena memang bukan sebagaimana biasanya, panggilan relung dalam dari senyum selalunya yang menggerakkan tanganku. Kali ini pendorongnya sesuatu yang lain, dari luar diriku.

Kamu akan tahu nanti…

Entah apa yang ingin aku tumpahkan di sini, tak jelas, kabur, buram dan kelam menggurat. Tapi bagi semesta, pasti memahami cerahnya langit dan samudra biru. Ya, semesta tahu mengapa aku melakukannya. Selama melankoli perjalanan hidup menjadi pijakan, semua akan luluh lantak pada kehadiran kebahagiaan yang tak pernah dapat tergapai, pun himalaya terdaki hingga menembus awan.

Kamu akan tahu nanti…

Menegakkan nilai tradisi yang dihancurkan oleh nilai kemajuan menjadi tantangan bagi penikmat kebahagiaan jati kesemestaan dan semua, bukan diri yang selalu ingin berpeluk pada ikatan semu, dunia tercandra. Perang Badar, Perang Uhud, Perang Tabuk, perang-perang lainnya, atau Jihad Akbar di dalam setiap diri, dan semua hal bagi beliau hingga Fathul Mekkah, jelas bukan untuk beliau, tapi khoiru ummah, kebahagiaan semua.

Kamu akan tahu nanti…

Bagaimana bisa aku akan mimikri Abu Lahab apalagi Abu Jahal? Menjadi Abu Jahal yang pedagang terkaya ganteng itu misalnya, pemimpin kaum terpelajar dan kebudayaan tercanggih di jamannya, selalu sumringah, sumeh, cerdas, selalu membantu siapapun, bahkan Kanjeng Nabipun tak luput dari refleksi kebahagiaan genetis. Tetapi genetika bisa tercampak hanya karena Beliau menegasikan manusia-manusia lama yang terberhalakan menjadi patung-patung penjaga kebaikan di rumah-rumah demi kebahagiaan semu itu.

Kamu akan tahu nanti…

Tak berbilang lelah dan sedih Bapak Para Nabi harus membawa sang Istri yang terpaksa harus dibuang oleh realitas, di padang tak bertuan itu. Anak Sang Bapak dari buah hati sang Istripun harus diparang demi kesetiaan. Kesetiaan bukan pada berhala, tapi pada yang menjadikan semesta sejati. Sekarang semua berhala telah beralih menjadi situs-situs terkonstruksi sesuai jamannya, kebahagiaan terselubung ego, dan aku tak mau itu menjadi dosa bagi semua.

Jadi…

Mengapa aku harus memaksakan diri pada pemberhalaan realitas kemajuan dan bukan tradisi, kalau itu memang panggilan semesta dan penjadi semesta? Aku takkan menyerah, pada apapun, wong Beliau saja harus meninggalkan Kemegahan Mekkah menuju Kesengsaraan Madinah. Butuh waktu, dan pada waktunya, entah kapan, tapi kuyakin…

Kamu akan tahu nanti… nanti…

Tinggalkan komentar