TERRA INCOGNITA (Hic Sunt Dracones)


Pengalaman jalan-jalan, terutama di wilayah Nusantara yang makin sering saya lakukan dalam beberapa tahun ini, baik yang pernah maupun yang sudah berkali-kali saya kunjungi, memberikan sesuatu yang benar-benar baru, bukan dalam artian yang biasa. Kalau dalam artian jalan-jalan menikmati suasana sih ya paling gitu-gitu aja. Suasana pantai, gunung, desa, kota, metropolis, perkampungan, dan banyak suasana yang beragam di negeri ini. Memang sih, banyak yang baru tak rasakan selagi perjalanan itu. Baik menemui wilayah baru maupun lama tapi dalam ruang dan waktu yang baru.

Awal Desember 2023 saya kembali ke tanah kelahiran Abah, Kutai Kartanegara. Menghadiri Seminar Nasional Untaian Naskah Kutai, yang diadakan oleh DPRD Kabupaten Kutai dan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Kutai, bekerja sama dengan Peneleh Research Institute. Saya tidak hendak menceritakan pengalaman selama seminar. Di sini saya mencoba melihat pengalaman baru, di wilayah baru yang sebenarnya telah sering saya kunjungi, yaitu Tenggarong. Perjalanan dari Malang menuju Tenggarong bisa ditempuh melalu dua cara, dari Balikpapan atau Samarinda. Kali ini saya menempuh perjalanan melalui penerbangan Surabaya- Balikpapan.

Dari Balikpapan menelusuri jalan bawah hingga sampai ke Loa Jalan dan Loa Kulu. Seperti biasa, ketemu dengan conveyer batu bara yang nggerojok bijih-bijihnya ke kapal besar yang nantinya setelah penuh berlayar menempuh perjalanan melintasi sungai Mahakam, tontonan harian bagi masyarakat di sekitar Kutai Kartanegara itu. Melas…

Kemudian pula saya mengunjungi museum Mulawarman, hehehe sebagaimana nama belakang yang diberikan Abah dan Mama ke dalam diriku, Aji Dedi Mulawarman, sekaligus menemui makam para sultan, terutama kakek buyut, Sultan Aji Muhammad Sulaiman, yang juga menjadi nama bandara internasional di Balikpapan itu. Selalu saja pengalaman baru hadir, meluncur saja dalam pengalaman batin. Ya pengalaman lahir yang dibalut dengan batin yang selalu baru, memunculkan wilayah pengalaman baru.

Ada istilah teori Kartografi yang disebut Terra incognita, yaitu tanah yang belum terdeteksi atau wilayah yang belum dijamah, digambar, dan tak kita ketahui sebelumnya. Kalau orang Eropa masa lalu bilang Hic Sunt Dracones (here be dragon), naga bro, ho oh naga. Bisa jadi ada ya nogo kuwi? Bisa jadi menurut kita naga itu ya ndak ada, karena kita terlalu dipagari sama pikiran rasional yang sudah berakar “abis“. Makanya dalam tradisi Jawa, ada yang disebut dengan istilah Ojo Nggumunan, jangan bingung atau kagetan dengan sesuatu yang baru.

Wilayah yang dimaksud terra incognita bisa jadi merupakan wilayah yang sudah memiliki penghuni dan interaksi di dalamnya terjadi dalam ruang dan waktu yang belum kita bayangkan sebelumnya. Atau, bahkan kita sudah ada di dalamnya tapi mungkin pikiran kita tidak berada di situ sih, kalau terra incognita dipahami bukan secara geografis saja. Eva Horn dalam bukunya yang berjudul “Knowing the Enemy: The Epistemology of Secret Intelligence.” (Boston: MIT Press Journal Grey Room, 2003, page 73) menuliskan, “The space that intelligence explores is, by definition, opaque and inaccessible. The task of intelligence is thus to penetrate into the forbidden and protected space, cross borders, and investigate the enemy’s territory. This space is by definition an uncharted, secret-filled, necessarily dangerous zone.” Terjemahan bebasnya mungkin seperti ini: “Ruang yang dijelajahi intelijen, menurut definisi, buram dan tidak dapat diakses. Oleh karena itu, tugas intelijen adalah menembus ruang terlarang dan dilindungi, melintasi perbatasan, dan menyelidiki wilayah musuh. Ruang ini menurut definisi adalah ruang yang belum dipetakan, zona yang penuh rahasia dan tentu saja berbahaya.”

Jadi sebenarnya, Terra incognita adalah ruang buram, kemewahan yang ditembus oleh lumen dari teropong para penjelajah. Ya, hobi materialitas realitas segala sesuatu kadang menjebak bahwa yang namanya sesuatu yang baru itu ya kudu nyata. Bisa jadi pula karena kita kurang jalan-jalan aja sih. Apalagi kalau kita terkurung dalam wilayah yang sudah terkonstruksi tanpa ampun. Apalagi kalau kita biasa menikmati wilayah tak kasat mata, katakanlah yang religius, yang suci (saya ndak suka dengan istilah spiritual sih, gimana gitu, meski dalam pemahaman saya sama aja itu istilahnya).

Do you know where you’re going to? Do you like the things that life is showing you? Where are you going to? Do you know? Tahukah engkau ke mana engkau pergi? Suka nggak ama sesuatu dalam hidup yang ditunjukkan padamu? Ke mana kamu pergi? Tahukah kamu? Begitu kalimat yang aku suka dari lagu Do you know where you’re going to yang dinyanyikan Diana Ross. Atau penggalan kalimat lagu Make you feel my love dari Michael Buble: When the rain is blowing in your face. And the whole worlds is in your case. Make you feel my love. Ketika hujan menimpa wajahmu. Dan seluruh dunia tertimpakan pada dirimu. Membuatmu merasakan cintaku.

So, ndak cukup cuma jalan-jalan, rekreasi pikiran juga penting dalam membuka wawasan. Begitu kata kawan lama padaku beberapa waktu lalu. Selamat liburan dan halan-halan.

ADM
Malang, 17 Desember 2023

Tinggalkan komentar