POLITIK BERPIRAU


Masalah pemilu itu masalah demokrasi biasa, sudah puluhan tahun lebih sejak kemerdekaan, mulai 1955, kemudian tertunda dan dimulai lagi di era Orde Baru 1970an, hingga berlanjut era Reformasi 1998 yang katanya era demokratisasi segala hal itu dan kita berada di era ini saat sekarang. Menang kalah tergantung siapa yang bisa mendulang mayoritas akumulasi angka di TPS-TPS. Urusan ndak setuju sama quick count, kecurangan pemilu, sampai caleg gagal yang ngamuk-ngamuk karena suara tidak sesuai ekspektasi itu mah sudah biasa. Ngamuk mulai dari menggerakkan demonstrasi sekaligus ancang-ancang digugat ke MK, sampai meminta kembali uang serangan fajar, mbongkar paving, mbongkar makam karena keluarganya gak milih, termasuk saudaranya jantungan sampai mati atau masuk RSJ, dan entah apalagi.


Gaya begituan itu seperti ritual kultural tiap coblosan. Toh entar ya akan jadi koalisi, negosiasi, atau kalau ndak mau gituan, ya jadi oposisi. Kalau kata Hamka, politik itu seperti kapal yang berada di tengah badai, harus pandai BERPIRAU. Berpiraunya itu menurutku ya bisa pakai kapal dinasti atau kapal meritokratik. Milih aja, ntar semua akan indah pada waktunya.


Begitulah demokrasi berpirau kita yang bisa jadi sudah basi dikatakan terlalu liberal, entah apa itu namanya, termasuk mungkin salah kaprah karena katanya akan membuat kita bebas dari budaya politik dinasti, karena lagi, seharusnya berorientasi pada meritokrasi. Padahal urusan politik dinasti mah sudah jadi gaya politik kita mulai dari dari bupati, walikota, gubernur, anggota dpr, dpd, menteri, ketua parpol level daerah hingga nasional. Toh kalaupun mau jadi meritokrasi juga sama aja akan menghasilkan gerombolan kuasa perkoncoan, alumni sana sini, hingga faksi ormas, yang tak ada bedanya dengan logika dinasti, seperti disebut Michael J. Sandel sebagai TYRANNY OF MERITS, tirani meritokratis yang dianggap sebagai buah penting demokrasi liberal itu.


Nah, masalah yang lebih dahsyat sih sebenarnya yang menjadi budaya baru, meski saya juga punya keyakinan logis, di dalamnya terdapat logika berpirau, yang sekarang sampai membahayakan nyawa secara masif, dan tidak manusiawi, entah itu demokrasi liberal, politik dinasti, ataupun politik meritokratis. Menjadi tidak layak atau tidaknya juga harus menggunakan logika berpirau, apakah ketua DPR-RI atau anggota komisi pemilunya, yang membuat regulasi. Atau, anggota KPU, meski mereka berlindung atas nama pelaksana teknis. Semuanya bisa jadi perlu bisa jadi juga tidak dituntut secara hukum karena masih banyaknya anggota KPPS yang meninggal.


Sekali lagi kalau melihat dari logika politik berpirau yang berlogika dinasti maupun meritokratis ini, semuanya adalah bagian dari jejaring laba-laba dan gerombolan pemain-pemain yang sudah jadi budaya baru khas demokrasi Indonesia yang tidak murni liberal ya? So jangan marahlah, toh nanti tinggal milih mau ikutan di pemerintahan, oposisi, atau entahlah, semua kan hanya urusan kuasa dan cuan apbn. Urusan oligarki? Ya itu mau masuk di logika dinasti atau merit, tergantung kepentingannya lah itu, kembali lagi, yang penting urusan kuasa dan cuan proyek hingga apbn.


So peace ajalah. Gak usah dibuat gaduh atas nama idealisme. Sudah jaman gen z dan mileneal pasca gen z nih dunia kita… kalau masih masuk di logika politik dan ekonomi liberal macam begituan, ya terimalah dengan logika berpirau, logika menyelamatkan diri dari badai dan menanggalkan idealisme dari gelombang pasang surut kenikmatan politik dan ekonomi.

Tinggalkan komentar