POLITIK BERPIRAU


Masalah pemilu itu masalah demokrasi biasa, sudah puluhan tahun lebih sejak kemerdekaan, mulai 1955, kemudian tertunda dan dimulai lagi di era Orde Baru 1970an, hingga berlanjut era Reformasi 1998 yang katanya era demokratisasi segala hal itu dan kita berada di era ini saat sekarang. Menang kalah tergantung siapa yang bisa mendulang mayoritas akumulasi angka di TPS-TPS. Urusan ndak setuju sama quick count, kecurangan pemilu, sampai caleg gagal yang ngamuk-ngamuk karena suara tidak sesuai ekspektasi itu mah sudah biasa. Ngamuk mulai dari menggerakkan demonstrasi sekaligus ancang-ancang digugat ke MK, sampai meminta kembali uang serangan fajar, mbongkar paving, mbongkar makam karena keluarganya gak milih, termasuk saudaranya jantungan sampai mati atau masuk RSJ, dan entah apalagi.


Gaya begituan itu seperti ritual kultural tiap coblosan. Toh entar ya akan jadi koalisi, negosiasi, atau kalau ndak mau gituan, ya jadi oposisi. Kalau kata Hamka, politik itu seperti kapal yang berada di tengah badai, harus pandai BERPIRAU. Berpiraunya itu menurutku ya bisa pakai kapal dinasti atau kapal meritokratik. Milih aja, ntar semua akan indah pada waktunya.


Begitulah demokrasi berpirau kita yang bisa jadi sudah basi dikatakan terlalu liberal, entah apa itu namanya, termasuk mungkin salah kaprah karena katanya akan membuat kita bebas dari budaya politik dinasti, karena lagi, seharusnya berorientasi pada meritokrasi. Padahal urusan politik dinasti mah sudah jadi gaya politik kita mulai dari dari bupati, walikota, gubernur, anggota dpr, dpd, menteri, ketua parpol level daerah hingga nasional. Toh kalaupun mau jadi meritokrasi juga sama aja akan menghasilkan gerombolan kuasa perkoncoan, alumni sana sini, hingga faksi ormas, yang tak ada bedanya dengan logika dinasti, seperti disebut Michael J. Sandel sebagai TYRANNY OF MERITS, tirani meritokratis yang dianggap sebagai buah penting demokrasi liberal itu.


Nah, masalah yang lebih dahsyat sih sebenarnya yang menjadi budaya baru, meski saya juga punya keyakinan logis, di dalamnya terdapat logika berpirau, yang sekarang sampai membahayakan nyawa secara masif, dan tidak manusiawi, entah itu demokrasi liberal, politik dinasti, ataupun politik meritokratis. Menjadi tidak layak atau tidaknya juga harus menggunakan logika berpirau, apakah ketua DPR-RI atau anggota komisi pemilunya, yang membuat regulasi. Atau, anggota KPU, meski mereka berlindung atas nama pelaksana teknis. Semuanya bisa jadi perlu bisa jadi juga tidak dituntut secara hukum karena masih banyaknya anggota KPPS yang meninggal.


Sekali lagi kalau melihat dari logika politik berpirau yang berlogika dinasti maupun meritokratis ini, semuanya adalah bagian dari jejaring laba-laba dan gerombolan pemain-pemain yang sudah jadi budaya baru khas demokrasi Indonesia yang tidak murni liberal ya? So jangan marahlah, toh nanti tinggal milih mau ikutan di pemerintahan, oposisi, atau entahlah, semua kan hanya urusan kuasa dan cuan apbn. Urusan oligarki? Ya itu mau masuk di logika dinasti atau merit, tergantung kepentingannya lah itu, kembali lagi, yang penting urusan kuasa dan cuan proyek hingga apbn.


So peace ajalah. Gak usah dibuat gaduh atas nama idealisme. Sudah jaman gen z dan mileneal pasca gen z nih dunia kita… kalau masih masuk di logika politik dan ekonomi liberal macam begituan, ya terimalah dengan logika berpirau, logika menyelamatkan diri dari badai dan menanggalkan idealisme dari gelombang pasang surut kenikmatan politik dan ekonomi.

ALIJA ALI IZETBEGOVIC DAN BOSNIA


Menolak lupa genosida rasis dan agama ala Westphalian System yang dilakukan ras Serbia atas Muslim Bosnia.

Jumadil Awwal 1445/ 2023 kemarin pada saat menulis kata pengantar untuk buku baru saya (yang sementara berjudul dan bisa jadi berubah pada saat cetak Kisah Barat Membunuh Tuhan) di Bandara Internasional Aji Sultan Sulaiman, Balikpapan, bertepatan dengan Deklarasi Islami tokoh besar Muslim Bosnia, Alija Ali Izetbegovic, Jumadil Awwal 1390/ 1970.

Izetbegovic kemudian menjadi Presiden pertama Bosnia tahun 1990, 20 tahun pasca deklarasi, intelektual dan pemimpin masyarakat Bosnia yang menulis buku keren dan luar biasa Islam Between East and West. Jadi kangen sama pemimpin yang bisa nulis buku luar biasa dahsyat seperti HOS Tjokroaminoto dan sang Proklamator Ir. Soekarno. Ada gak ya sekarang yang tidak menulis lewat ghost writer? heee peace…

Deklarasi Izetbegovic untuk Bosnia ditulis setebal 77 halaman, dengan deklarasi utama 2 halaman beserta penjelasan di tengah pergolakan yang tak henti di Yugoslavia, negeri Komunis bersimbol Sosialisme Pasar yang berbeda dengan Uni Sovyet, di bawah kekuasaan Josip Broz Tito.

Pasca kematian Tito dan luluh lantaknya rezim-rezim Komunis di Eropa Timur, Yugoslavia terpecah belah pada tahun 1991. Setelah Kroasia dan Slovenia merdeka, Boznia memproklamasikan kemerdekaannya 1992 melalui referendum. Referendum diikuti masyarakat Muslim Bosnia plus Kroasia Bosnia. Serbia dengan hasrat untuk menguasai seluruh wilayah eks Yugoslavia, marah. Dimulailah genosida etnis Bosnia yang mayoritas Muslim dan etnis Kroasia.

Lukisan di atas merupakan  Pembantaian Srebrenica versi Peter Howson

Genosida berdasarkan data Mirsad Tokaca tahun 2007 menyebabkan kematian 97.000 orang Muslim Bosnia dan pengusiran massal ratusan ribu warga sipil. Genosida dilakukan di bawah komando Jenderal Serbia, Ratco Mladic dan Presiden Slobodan Milosevic, demi Serbia Raya.

Alfatehah untuk beliau Yang Mulia Alija Ali Izetbegovic dan masyarakat Muslim Bosnia. Alfatehah untuk masyarakat Palestina yang sedang dilanda genosida ala westphalian dari Israel.

ALHAMBRA yang KURINDU


Belajar dari Genosida Inkuisisi Muslim dan Yahudi di Spanyol

Semalam saya melihat postingan tiktok tentang Al-Qur’an dan beberapa manuskrip dari Muhammad Yayyar, seorang imam Masjid di masa akhir kejayaan Islam di Andalusia, Spanyol. Al-Quran dan manuskrip tersebut tersimpan di tembok bekas rumahnya yang akan direnovasi, di desa yang dulu bernama Aqūṭa, atau Qutar, kota di distrik Axarquia, provinsi Málaga saat ini.

Nyoba nyari di internet mengenai informasi tersebut, dan dapatlah link website https://english.elpais.com/culture/2023-06-30/the-books-that-lay-hidden-behind-a-wall-for-five-centuries.html, judulnya: The books that lay hidden behind a wall for five centuries in Spain. Sub judulnya menjelaskan mengenai: Two decades have passed since the discovery of the manuscripts that the imam of Cútar hid in a wall in his home around the year 1500, one of them an Almohad-period Koran.

Ceritanya memang, banyak muslim yang menyimpan di tembok-tembok di wilayah Spanyol masa Inkuisisi sejak tahun 1478, ketika Paus Sixtus IV mengeluarkan dekrit yang memberi wewenang kepada raja-raja Katolik, Ferdinand dan Isabella, untuk membasmi, pengusiran dan atau pengkafiran Muslim. Keras dan kejamnya peristiwa inkuisis Katolok tersebut hingga membuat Muhammad Yayyar dalam manuskrip pribadinya yang ditemukan bersama manuskrip serta Al-Qur’an tersebut menuliskan puisi yang di antaranya berisi: “In all the world it never happened / what happened in Al-Andalus.”

Gambar diambil dari https://english.elpais.com/culture/2023-06-30/the-books-that-lay-hidden-behind-a-wall-for-five-centuries.html

Inkuisisi tahun 1492 Mencekam bagi Muslim Spanyol

Tulisan menarik yang saya dapat dari https://ballandalus.wordpress.com/2014/01/01/the-destruction-of-hispano-islamic-civilization-recollections-reflections-and-significance-2/ mungkin menjadi catatan sejarah bahwa kejahatan atas genosida seperti yang pernah dilakukan di masa lalu itu sangat tidak manusiawi. Seperti yang terjadi di Palestina hari-hari ini. Artikel ini menuliskan di pendahuluannya sebagai berikut: January 2nd marks a very significant day in world history. On this day in 1492, exactly 522 years ago, the city of Granada, the last bastion of Andalusi Muslim resistance to the Castilian conquest of Islamic Iberia, was finally conquered after a brutal decade-long war. This event marked the end of Islamic rule in Iberia, which had lasted nearly 781 years. More significantly, it marked the beginning of the elimination of the Jewish and Muslim communities in Spain and Portugal, communities which would not be reestablished until the 19th and 20th centuries. As such, it is a day which is worth reflecting on […] There is really nothing to celebrate about January 2nd, 1492. It was the day that marked the beginning of a process which gradually obliterated the Islamic and Jewish aspects of Iberian civilization, destroying its unique character and transforming Hispania into a land where religious intolerance held sway. Something certainly changed after January 2nd, 1492 and to take this date as a day of celebration demonstrates an ignorance of history. Rather than celebrate the conquest of Granada, an event which signified death and destruction for Andalusi and Sephardic civilization in Iberia and a date which continues to signify tragedy for hundreds of millions of Muslims, Jews and Christians around the world, this is a day on which to reflect upon the lessons of the destruction of al-Andalus and Hispano-Muslim civilization. I hope my piece will show that conquest, always violent and destructive, is something that should never be celebrated, regardless of the identities of the conquered or the conqueror.

Secara mudah diartikan begini: “Tanggal 2 Januari menandai hari yang sangat penting dalam sejarah dunia. Pada hari ini di tahun 1492, tepatnya 522 tahun yang lalu, kota Granada, benteng terakhir perlawanan Muslim Andalusia terhadap penaklukan Kastilia atas Iberia Islam, akhirnya ditaklukkan setelah perang brutal selama satu dekade. Peristiwa ini menandai berakhirnya kekuasaan Islam di Iberia yang telah berlangsung hampir 781 tahun. Lebih penting lagi, hal ini menandai dimulainya penghapusan komunitas Yahudi dan Muslim di Spanyol dan Portugal, komunitas yang baru dibangun kembali pada abad ke-19 dan ke-20. Oleh karena itu, ini adalah hari yang patut direnungkan […] Sebenarnya tidak ada yang perlu dirayakan pada tanggal 2 Januari 1492. Itu adalah hari yang menandai dimulainya sebuah proses yang secara bertahap menghapuskan aspek Islam dan Yahudi di Peradaban Iberia, menghancurkan karakter uniknya dan mengubah Hispania menjadi negeri di mana intoleransi beragama merajalela. Sesuatu pasti berubah setelah tanggal 2 Januari 1492 dan menjadikan tanggal ini sebagai hari perayaan menunjukkan ketidaktahuan akan sejarah. Daripada merayakan penaklukan Granada, sebuah peristiwa yang menandakan kematian dan kehancuran bagi peradaban Andalusi dan Sephardic di Iberia dan sebuah tanggal yang terus menandakan tragedi bagi ratusan juta Muslim, Yahudi dan Kristen di seluruh dunia, ini adalah hari di mana untuk merefleksikan pelajaran dari kehancuran peradaban Andalusia dan Muslim Hispano. Saya berharap tulisan saya akan menunjukkan bahwa penaklukan, yang selalu disertai kekerasan dan destruktif, adalah sesuatu yang tidak boleh dirayakan, terlepas dari identitas penakluk atau penakluknya.


Postingan twitter beserta gambar dari Emran El-Badawi di atas dengan gaya kalimat tanya: What happened to Jews & Muslims who fled the Spanish Inquisition 1492? Did they leave any traces behind in Spanish or European cultures? (from my Jewish-Muslim relations course this week)

Mencari lagi Alhambra

Pencarian berlanjut dan dapat yang menarik. Artikel di medium.com dari Motaz Writes berjudul What Is Written On The Walls Of Alhambra? Translating some of the Arabic inscriptions in Alhambra, Granada (https://medium.com/illumination/what-is-written-on-the-walls-of-alhambra-3689c4b0c875).
Alhambra, seperti situs bersejarah Muslim lainnya di Andalusia, Spanyol, dipenuhi kaligrafi indah dan seni geometris Islam. Sebagian besarnya terdiri dari ayat-ayat Al-Qur’an atau ungkapan keagamaan dan hadits Nabi Muhammad. Namun ada juga segudang lagu cinta, pujian terhadap kekhalifahan, dan puisi tentang kehidupan, keindahan, dan tanah air. Begitulah Motaz bercerita sekaligus memosting foto-foto cantiknya.

Gambar diambil dari https://medium.com/illumination/what-is-written-on-the-walls-of-alhambra-3689c4b0c875

Recuerdos de la Alhambra

Jadi deh, seperti berpuluh tahun lalu, saya mulai mengumpulkan referensi mengenai Alhambra. Waktu itu sih, tidak sampai mengumpulkan referensi karena pencarian waktu itu masih relatif sulit, tidak seperti sekarang, tahun 2023, kita dapat mencari, mendownload hingga mentranslate dengan mudah.
Ya. sekitar tahun 2006-2007, saya sering posting di wordpress, sambil menikmati proses penulisan disertasi menikmati lagu Recuerdos de al Alhambra karya Fransisco Tarrega (1852-1909). Sampai-sampai lagu itu saya posting pula di wordpress.

Mengoleksi Referensi Alhambra

Hari ini, 18 September 2023 sudah dapat 5 referensi, mengenai The Alhambra.
Mulai dari Frederick P. Bargebuhr (1968), Desmond Steward (1976), Washington Irving (1982), Oleg Grabar (1992), Robert Irwin (2005), hingga Olga Bush (2002). Ya dikumpulin dulu yang penting, menikmati biar serasa gimana gitu. Tinggal melakukan revieu, entah kapan, semoga bisa sih mulai lagi, lebih serius menelusuri Alhambra yang Kurindu.

Kata pengantar Editor buku The Alhambra karya Desmond Stewart (1976), yang saya kutip utuh berikut ini: “Alhambra adalah benteng terakhir dari delapan ratus tahun kehadiran Islam di ujung paling barat Eropa, Iberia. Ini juga merupakan contoh terbaik dari gaya arsitektur yang berkembang di sana, dengan unsur-unsur yang memadukan kelembutan dan keanggunan menjadi kesempurnaan sehingga tampak seperti melayang, seolah-olah tanpa tubuh, di udara yang hidup. Dibangun pada masa pasang surut periode Muslim Spanyol, Alhambra sepertinya merangkum keseluruhan zaman. Yang tersirat di dalam tembok-temboknya adalah kemajuan berani para pejuang abad kedelapan yang pertama kali mengklaim Iberia sebagai wilayah Islam, kejayaan kekhalifahan Cordoban pada abad kesepuluh, dan pergolakan tragis dari penaklukan kembali yang berkepanjangan. Pengingat yang jelas akan penaklukan kembali ini adalah aspek benteng Alhambra, yang begitu menonjol pada gambar di sebelah kiri. Namun di dalam tembok, aura bela diri monumen tersebut hilang sama sekali. Interiornya benar-benar sebuah negeri dongeng, dengan pemandangan langit dan air yang cepat berlalu, lengkungan-lengkungan yang menjulang tinggi dihiasi dengan indah, dan aula-aula — baik luas maupun intim — yang dekorasinya beragam mulai dari bunga hingga abstrak dan mencakup rubrik epigrafi Arab yang megah. Setelah berada di tangan umat Kristiani, Alhambra menjadi rusak hingga para peminat abad kesembilan belas seperti Washington Irving, Victor Hugo, dan Theophile Gautier membangkitkan minat akan masa lalu romantisnya dan kepedulian terhadap pelestariannya. Berkat mereka, tempat ini sekarang menjadi monumen nasional Spanyol dan daya tarik wisata yang sangat menarik. Setelah dipugar secara signifikan, Alhambra memberikan kesempatan kepada pengunjung masa kini untuk bersentuhan – betapapun hebatnya jaraknya – dengan budaya yang pada suatu waktu memberikan cahaya terang bagi dunia yang sebaliknya sebagian besar meraba-raba dalam kegelapan.

Gambar diambil dari https://www.klook.com/activity/50677-skip-line-alhambra-generalife-nasrid-palaces-tour/

Alhambra modern sekarang merupakan Situs Warisan Dunia UNESCO sejak 1984 yang kini menarik lebih dari 8.000 pengunjung setiap hari menurut catatan Olga Bush (2022) dalam bukunya yang berjudul Reframing The Alhambra.

Gambar diambil dari https://thebettervacation.com/wp-content/uploads/2021/03/Alhambra-Palace-Granada.jpg

Begitulah Alhambra yang Kurindu.

Malang, 18 September 2023

TERRA INCOGNITA (Hic Sunt Dracones)


Pengalaman jalan-jalan, terutama di wilayah Nusantara yang makin sering saya lakukan dalam beberapa tahun ini, baik yang pernah maupun yang sudah berkali-kali saya kunjungi, memberikan sesuatu yang benar-benar baru, bukan dalam artian yang biasa. Kalau dalam artian jalan-jalan menikmati suasana sih ya paling gitu-gitu aja. Suasana pantai, gunung, desa, kota, metropolis, perkampungan, dan banyak suasana yang beragam di negeri ini. Memang sih, banyak yang baru tak rasakan selagi perjalanan itu. Baik menemui wilayah baru maupun lama tapi dalam ruang dan waktu yang baru.

Awal Desember 2023 saya kembali ke tanah kelahiran Abah, Kutai Kartanegara. Menghadiri Seminar Nasional Untaian Naskah Kutai, yang diadakan oleh DPRD Kabupaten Kutai dan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Kutai, bekerja sama dengan Peneleh Research Institute. Saya tidak hendak menceritakan pengalaman selama seminar. Di sini saya mencoba melihat pengalaman baru, di wilayah baru yang sebenarnya telah sering saya kunjungi, yaitu Tenggarong. Perjalanan dari Malang menuju Tenggarong bisa ditempuh melalu dua cara, dari Balikpapan atau Samarinda. Kali ini saya menempuh perjalanan melalui penerbangan Surabaya- Balikpapan.

Dari Balikpapan menelusuri jalan bawah hingga sampai ke Loa Jalan dan Loa Kulu. Seperti biasa, ketemu dengan conveyer batu bara yang nggerojok bijih-bijihnya ke kapal besar yang nantinya setelah penuh berlayar menempuh perjalanan melintasi sungai Mahakam, tontonan harian bagi masyarakat di sekitar Kutai Kartanegara itu. Melas…

Kemudian pula saya mengunjungi museum Mulawarman, hehehe sebagaimana nama belakang yang diberikan Abah dan Mama ke dalam diriku, Aji Dedi Mulawarman, sekaligus menemui makam para sultan, terutama kakek buyut, Sultan Aji Muhammad Sulaiman, yang juga menjadi nama bandara internasional di Balikpapan itu. Selalu saja pengalaman baru hadir, meluncur saja dalam pengalaman batin. Ya pengalaman lahir yang dibalut dengan batin yang selalu baru, memunculkan wilayah pengalaman baru.

Ada istilah teori Kartografi yang disebut Terra incognita, yaitu tanah yang belum terdeteksi atau wilayah yang belum dijamah, digambar, dan tak kita ketahui sebelumnya. Kalau orang Eropa masa lalu bilang Hic Sunt Dracones (here be dragon), naga bro, ho oh naga. Bisa jadi ada ya nogo kuwi? Bisa jadi menurut kita naga itu ya ndak ada, karena kita terlalu dipagari sama pikiran rasional yang sudah berakar “abis“. Makanya dalam tradisi Jawa, ada yang disebut dengan istilah Ojo Nggumunan, jangan bingung atau kagetan dengan sesuatu yang baru.

Wilayah yang dimaksud terra incognita bisa jadi merupakan wilayah yang sudah memiliki penghuni dan interaksi di dalamnya terjadi dalam ruang dan waktu yang belum kita bayangkan sebelumnya. Atau, bahkan kita sudah ada di dalamnya tapi mungkin pikiran kita tidak berada di situ sih, kalau terra incognita dipahami bukan secara geografis saja. Eva Horn dalam bukunya yang berjudul “Knowing the Enemy: The Epistemology of Secret Intelligence.” (Boston: MIT Press Journal Grey Room, 2003, page 73) menuliskan, “The space that intelligence explores is, by definition, opaque and inaccessible. The task of intelligence is thus to penetrate into the forbidden and protected space, cross borders, and investigate the enemy’s territory. This space is by definition an uncharted, secret-filled, necessarily dangerous zone.” Terjemahan bebasnya mungkin seperti ini: “Ruang yang dijelajahi intelijen, menurut definisi, buram dan tidak dapat diakses. Oleh karena itu, tugas intelijen adalah menembus ruang terlarang dan dilindungi, melintasi perbatasan, dan menyelidiki wilayah musuh. Ruang ini menurut definisi adalah ruang yang belum dipetakan, zona yang penuh rahasia dan tentu saja berbahaya.”

Jadi sebenarnya, Terra incognita adalah ruang buram, kemewahan yang ditembus oleh lumen dari teropong para penjelajah. Ya, hobi materialitas realitas segala sesuatu kadang menjebak bahwa yang namanya sesuatu yang baru itu ya kudu nyata. Bisa jadi pula karena kita kurang jalan-jalan aja sih. Apalagi kalau kita terkurung dalam wilayah yang sudah terkonstruksi tanpa ampun. Apalagi kalau kita biasa menikmati wilayah tak kasat mata, katakanlah yang religius, yang suci (saya ndak suka dengan istilah spiritual sih, gimana gitu, meski dalam pemahaman saya sama aja itu istilahnya).

Do you know where you’re going to? Do you like the things that life is showing you? Where are you going to? Do you know? Tahukah engkau ke mana engkau pergi? Suka nggak ama sesuatu dalam hidup yang ditunjukkan padamu? Ke mana kamu pergi? Tahukah kamu? Begitu kalimat yang aku suka dari lagu Do you know where you’re going to yang dinyanyikan Diana Ross. Atau penggalan kalimat lagu Make you feel my love dari Michael Buble: When the rain is blowing in your face. And the whole worlds is in your case. Make you feel my love. Ketika hujan menimpa wajahmu. Dan seluruh dunia tertimpakan pada dirimu. Membuatmu merasakan cintaku.

So, ndak cukup cuma jalan-jalan, rekreasi pikiran juga penting dalam membuka wawasan. Begitu kata kawan lama padaku beberapa waktu lalu. Selamat liburan dan halan-halan.

ADM
Malang, 17 Desember 2023

International Online Guest Lecture Series


http://rumahpeneleh.or.id http://urup.or.id

PENELEH ONLINE INTERNATIONAL GUEST LECTURE SERIES
Covid-19, Politics, Economy, and National Defence: Are We Moving towards a Fallen or New Civilizations?

Dalam rangka penggalangan dana melawan Covid19

🙏Covid 19 yang menjadi pandemi menunjukkan bahwa korban terbesar bergeser dari Cina ke AS dan Eropa. Bisa jadi sedang kita saksikan keruntuhan kesombongan Peradaban Barat vis a vis Jalur Sutra Baru.

😱Tesis Harari dalam Homo Deus menjelaskan bahwa Kelaparan, Penyakit, dan Perang adalah 3 hal yang tidak lagi ditakuti orang modern karena sains dan teknologi… dan … Manusia mulai meninggalkan agama.

🌎Sains dan teknologi Barat dan semua karakter peradaban Barat yaitu WEIRD (Western, Educated, Industrialized, Rich, Democratic) SOCIETIES diklaim menyelesaikan masalah dunia. Harari lebih lanjut menantang pemikiran berbasis WEIRD ini dan mengusulkan TECHNO HUMANISM, bukan untuk menyelesaikan 3 masalah tsb, tetapi untuk menyelesaikan masalah kematian melalui ARTIFICIAL TECHNOLOGY dan BIOTECHNOLOGY . Ini adalah upaya rekayasa kehidupan melalui materialisasi algoritma lanjut.

😡 Covid 19 mungkin merupakan keliaran manusia melalui model perang baru, perang biologis atau merupakan bukti kegagalan rekayasa kehidupan atau bioteknologi.

🤫Realitasnya, manusia tetap membutuhkan Tuhan saat covid 19 menyerang. Doa, ritual dan shalawat massal digaungkan di mana-mana. Lockdown menyadarkan kita bahwa Manusia tetap membutuhkan relasi fisik-sosial, walau media komunikasi online tersedia.

🧐Saat jeda ini harus kita gunakan untuk memetakan ke mana arah peradaban akan bergerak. Yang jelas, bukan menuju WEIRD Society, atau bahkan Techno-Humanisme yang kini sedang tumbang bersama.

🤗Kita perlu kembali ke nilai-nilai kebudayaan dan agama yang terelasi secara global.

🎯Untuk itulah International Guest Lecture Series menghadirkan dosen tamu dari berbagai belahan dunia: Yunani, Nepal, Rusia-Oman, Malaysia, Indonesia.

🖥 Kuliah tamu (15.30-17.00 WIB):

11 April 2020- Dr. Yogi Simhanath (Nepal), PhD di bidang hankam dari Tribhuvan University Kathmandu, dengan tema “National Defence in the midst of Global Pandemic”

13 April 2020- Prof. Gatot Dwi Hendro Wibowo (Indonesia), Phd di bidang Hukum dari Universitas Airlangga, dosen Universitas Mataram, dengan tema “How Covid 19 impacted Politics, Social, Culture, and National Defence”

15 April 2020- Prof Evangelos Afendras (Greece), PhD di bidang Interdisciplinary in the Humanity Lingusitics dari John Hopkins University, Peneleh Ambassador for Greece, dengan tema “Crisis Communication Crisis during the Corona Pandemic”

17 April 2020- Dr. Victoria Dauletova (Russia-Oman), PhD di bidang Linguistics dari Volgograd State Pedagogical University, Russia, Dosen Sultan Qaboos University Oman, dengan tema “Crisis Communication in the Time of Covid 19: Goverments, Press. and Citizens”

19 April 2020- Dr. Mohd. Shukri Hanapi (Malaysia) PhD dalam bidang Islamic Worldview & Epistemology, dosen USM Penang, dengan tema “Covid19 Disaster in Islamic Perpectives”

22 April 2020- Dr. Aji Dedi Mulawarman (Indonesia), PhD di bidang Ilmu Akuntansi dari Universitas Brawijaya, dosen UB, dengan tema “World Outlook after the Corona Pandemic”

Kontribusi: FREE, namun Peneleh membuka OPEN DONATION untuk menyediakan hand sanitizers gratis dan pembentukan security net fund atas dampak Covid19. Cukup satu kali registrasi untuk masuk ke semua kuliah tamu.

Donasi dapat ditransfer ke:
Yayasan Rumah Peneleh
BTN Syariah
No Rek. 7062100510
Kode Bank: 200

Fasiliitas

💼e-certificate tersedia untuk setiap kehadiran di setiap sesi

💼Subtitles dalam bahasa Indonesia tersedia

🚩Ayo bergabung dan berikan donasi terbaikmu untuk melawan Covid 19 dan melawan kesombongan manusia atas kearifan kemanusiaan, kebudayaan, bahkan Tuhan.

Isi form registrasi: http://bit.ly/int-lecture
dan dapatkan link undangan kuliah daring Peneleh.

Peserta dari Malaysia, Rusia, Tanzania, Kanada, AS, dan banyak lainnya saja sudah mendaftar. Apa lagi yang Anda tunggu?

BIARKAN SAJA HILANG…


Kita sejati itu sebagaimana manusia biasa, selalu saja dapat terjebak dalam absurditas dunia, karena memang begitulah manusia yang dikeluhkan para malaikat di awal penciptaan manusia. Kita sebagaimana manusia biasa dalam pandangan Allah SWT dengan derajat kearifannya sendiri, dengan pilihan absurditas dunianya berperilaku (1) jahat sejahat-jahat manusia atau tak paham sedang menjadi jahat; (2) brutus, sang musang berbulu domba, (3) keledai yang cinta lubang kebodohan, (4) egosentris, (5) penuh kepalsuan, (6) lugu, berbuat baik tak bertujuan; atau (7) memang tak perlu paham bahwa dirinya manusia suci sebenar-benarnya suci; semuanya hanya terletak pada satu hal, keikhlasan tanpa syarat. 

Meskipun begitu, usaha untuk memperbaiki dirinya dan lingkungan sekitarnya adalah suatu kemustian menyejarah, dengan satu laku utama, bukan karena dilandasi kepentingan tertentu, selain kepentingan karena kecintaan dan ketundukannya kepada Allah. Laku ikhlas bukan seperti “turnamen” catur, karena bermain catur itulah senyatanya kelalaian yang melenakan, kepentingan mencapai sesuatu untuk kebahagiaan dirinya dengan membunuh realitas apapun yang ada di sekitarnya dengan sengaja. Itulah kepalsucian kesucian. Ya, karena kepalsuan kesucian muncul apabila setitik zarah kepentingan terbersit, apalagi kepentingan berujung memanfaatkan situasi, apalagi memanfaatkan manusia lainnya. Laku seperti itu sama saja dengan perilaku ingkar atas jati dirinya sebagai makhluk suci yang selalu menjalankan kebersihan akhlak, kesejatian akhlak.

Selamat menjalankan laku akhlak sejati, akhlak suci, tanpa kecerdasan diksi apapun sebagaimana RMP Sosrokartono menuliskan dan lakukan dengan nyata tanpa jeda: “Trimah mawi pasrah. Suwung pamrih, tebih ajrih. Langgeng, tan ana susah, tan ana seneng. Anteng mantheng, sugeng jeneng”. Biarkanlah lenyap itu semua kepentingan, seperti lirik Kla Project di tengah riuhnya petikan, ketukan, sentuhan beraneka alunan yang tetap saja menggelorakan harmoni nada ciptakan lagu “Bahagia Tanpamu“:

Tengah malam, saat suram, mengukur jalan

Bawa luka, masih segar oleh deraan

Tak ada arah, ikuti kaki melangkah

Lelampuan, jalan lengang, tersedu

Telah lama kuterbayang bakal terjadi

Burung terbang dari sarang  tiada kembali

Adalah engkau memusnahkan kepercayaan 

Langit hitam saksi meradang sukmaku

Usailah cerita, lelaki dan cinta 

Terkunci pintu sampai akhir

Biar sepi memagut dan luka 

Kubalut hari ke hari bahagia tanpamu

Biar hampa merayu sendiri 

Berlalu hari ke hari bahagia tanpamu…

Hingga benar-benar hilang itu kepentingan, hingga menjadi sebagaimana dilantunkan Kla Project pula melalui alunan lagu “Tentang Kita”:

Hari-hari nan berdebu bersama dirimu yakin kuhadapi

Sambil merajut berdua anyaman benang angan yang kau tawarkan

Sekian lama ‘tuk mengerti dirimu jadi misteri yang kian terselami

Sekian jauh menilai kadar cinta tergali milikmu sejati

Sejuta asa yang sempat kutitipkan di dalam sinar matamu

Pribadi nan sederhana menjanjikan keteduhan kasih nan murni

Ternyata t’lah menjadi kebahagiaan hati yang tiada terperi

Mari genggam jemari memadu dua hati saling memiliki

Kembali, kembalilah kini segala asa berseri

Benahi, benahilah kini kepekaan nurani

Berjanji, berjanjilah kini tetap setia sampai selama-lamanya

Semoga kita selalu bergerak mengalir menuju kesejatian akhlak. Ya Allah tunjukilah aku jalan sebenar-benarnya jalan yang lurus lagi suci sebagaimana telah dilakukan oleh para pejalan laku suci dan bukannya pejalan laku ingkar. Amin yaa Rabbal Alamin.

Malang, 6 Rabiul Akhir 1441 (3 Desember 2019).

Ajidedim

Kamu Akan Tahu Nanti…


Sore menjelang maghrib, dia dan sedihnya, dia yang mengabarkan lewat semesta mendorongku menuliskannya, mengalir meski tak selancar gemericik air kolam di seberang ruangan di mana aku duduk. Memang tulisan ini tidak selancar lainnya, karena memang bukan sebagaimana biasanya, panggilan relung dalam dari senyum selalunya yang menggerakkan tanganku. Kali ini pendorongnya sesuatu yang lain, dari luar diriku.

Kamu akan tahu nanti…

Entah apa yang ingin aku tumpahkan di sini, tak jelas, kabur, buram dan kelam menggurat. Tapi bagi semesta, pasti memahami cerahnya langit dan samudra biru. Ya, semesta tahu mengapa aku melakukannya. Selama melankoli perjalanan hidup menjadi pijakan, semua akan luluh lantak pada kehadiran kebahagiaan yang tak pernah dapat tergapai, pun himalaya terdaki hingga menembus awan.

Kamu akan tahu nanti…

Menegakkan nilai tradisi yang dihancurkan oleh nilai kemajuan menjadi tantangan bagi penikmat kebahagiaan jati kesemestaan dan semua, bukan diri yang selalu ingin berpeluk pada ikatan semu, dunia tercandra. Perang Badar, Perang Uhud, Perang Tabuk, perang-perang lainnya, atau Jihad Akbar di dalam setiap diri, dan semua hal bagi beliau hingga Fathul Mekkah, jelas bukan untuk beliau, tapi khoiru ummah, kebahagiaan semua.

Kamu akan tahu nanti…

Bagaimana bisa aku akan mimikri Abu Lahab apalagi Abu Jahal? Menjadi Abu Jahal yang pedagang terkaya ganteng itu misalnya, pemimpin kaum terpelajar dan kebudayaan tercanggih di jamannya, selalu sumringah, sumeh, cerdas, selalu membantu siapapun, bahkan Kanjeng Nabipun tak luput dari refleksi kebahagiaan genetis. Tetapi genetika bisa tercampak hanya karena Beliau menegasikan manusia-manusia lama yang terberhalakan menjadi patung-patung penjaga kebaikan di rumah-rumah demi kebahagiaan semu itu.

Kamu akan tahu nanti…

Tak berbilang lelah dan sedih Bapak Para Nabi harus membawa sang Istri yang terpaksa harus dibuang oleh realitas, di padang tak bertuan itu. Anak Sang Bapak dari buah hati sang Istripun harus diparang demi kesetiaan. Kesetiaan bukan pada berhala, tapi pada yang menjadikan semesta sejati. Sekarang semua berhala telah beralih menjadi situs-situs terkonstruksi sesuai jamannya, kebahagiaan terselubung ego, dan aku tak mau itu menjadi dosa bagi semua.

Jadi…

Mengapa aku harus memaksakan diri pada pemberhalaan realitas kemajuan dan bukan tradisi, kalau itu memang panggilan semesta dan penjadi semesta? Aku takkan menyerah, pada apapun, wong Beliau saja harus meninggalkan Kemegahan Mekkah menuju Kesengsaraan Madinah. Butuh waktu, dan pada waktunya, entah kapan, tapi kuyakin…

Kamu akan tahu nanti… nanti…

ANGKA ILAHIYAH


Bagaimana sebenarnya makna serta sejauh mana pentingnya angka dalam Islam? Cukupkah dipahami sebagaimana angka itu simbol dan dijadikan alat untuk mengkonstruksi realitas secara rasional-logis sebagaimana Barat memaknainya?
Secara normatif Islam mengingatkan sebaik-baik pemahaman rasionalitas atas realitas sebagai manusia Ulil Albab bukan hanya cerdas akal otak rasional tetapi otak yang berfikir sekaligus berzikir dan dengan itu setiap diri diminta untuk mengarah pada ketakwaan Ilahiyah:
Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku, hai orang-orang yang berakal (QS. Al Baqarah: 197).
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (yaitu) Orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka (QS. Ali Imran: 190-191).
Interpretasi kontekstual Islam memang memiliki kekhasan dalam mendorong setiap diri dalam memahami rasionalitas, realitas, bahkan yang lebih teknis matematis maupun angka. Qur’an misalnya bercerita tentang penciptaan dalam 6 hari tidak dapat diinterpretasikan “lugu” enam hari dalam logika kemanusiaan biasa. Rasulullah SAW menjelaskan tentang munculnya mujtahid, mujahid, ijtihad 100 tahunan juga tidak bisa dipahami langsung menggunakan akal rasional, tetapi sangat menginginkan konstruksi secara holistik.
Menurut Nasr dalam bukunya berjudul Science and Civilization in Islam (2007) menjelaskan bahwa matematika memang tidak sesimpel simbol dan angka yang kering dan semata material, tetapi:
… is regarded as the gateway leading from the sensible to the intelligible world, the ladder between the world of change and the heaven of archetypes. Unity, the central idea of Islam, is an abstraction from the human point of view, even though in itself it is concrete. With respect to the world of the senses, mathematics is similarly an abstraction; but considered from the standpoint of the intelligible world, the “world of ideas” of Plato, it is a guide to the eternal essences, which are themselves concrete. Just as all figures are generated from the point, and all numbers from unity, so does all multiplicity come from the Creator, who is One. Numbers and figures, if considered in the Pythagorean sense that is, as ontological aspects of Unity, and not merely as pure quantity become vehicles for the expression of Unity in Multiplicity. The Muslim mind has therefore always been drawn toward mathematics, as may be seen not only in the great activity of the Muslims in the mathematical sciences, but in Islamic art as well.
Penjelasan beliau sebenarnya menegaskan berbagai peran tokoh Muslim di masa-masa keemasan peradaban Islam yang memaknai matematika dan angka lebih dari sekedar simbol dan penuh makna Ilahiyah. Salah satu tokoh penting matematika yang saat ini banyak menjadi sentral rujukan dunia saat ini adalah Al-Khawarizmi (Muhammad bin Musa), penemu Aljabar dan Algoritma yang memahami angka 1,2,3,4,5,6,7,8,9,0 bukan sekedar angka matematis material-fisikal sebagaimana kita pahami sekarang. Buku Algoritma (ditulis tahun 824) sebenarnya pula merupakan panduan utama revolusi industri 4.0 dan pusat dari html, script, bahasa mesin, internet, dan hampir seluruh kunci utama teknologi saat ini; termasuk tokoh idola Mark Zuckerberg pendiri Facebook itu.
Al-Khawarizmi lahir sekitar tahun 780 di Khwarizm (sekarang Khiva, Uzbekistan) dan wafat sekitar tahun 850/863 di Baghdad. Al-Jabar, adalah buku pertamanya yang membahas persamaan linear dan notasi kuadrat. Al-Khawarizmi berperan penting dalam memperkenalkan angka Arab melalui karya Kitāb al-Jam’a wa-l-tafrīq bi-ḥisāb al-Hind yang kelak diadopsi sebagai angka standar yang dipakai di berbagai bahasa serta kemudian diperkenalkan sebagai Sistem Desimal.
Bagi Al-Khawarizmi Aljabar dan Algoritma memiliki nilai-nilai utama yang sangat Ilahiyah sifatnya, dengan merujuk pada sifat angka pada para guru dan rujukan-rujukan ahli matematika awal jaman periode kenabian yang disebut “Ikhwan al-Safa”, yaitu angka selalu bersanding yang matematis (material) sekaligus bersifat metafisis (Ilahiyah). Angka 1 misalnya tidak hanya merefleksikan material tetapi bermakna metafisis, angka 1 adalah awal, pertama sebagaimana Alif, adalah puncak huruf yang merefleksikan Allah itu sendiri, baik Alif berdiri sendiri maupun ketika bersandar dengan kata Allah itu sendiri.
Huruf-huruf penyusun kata Allah terdiri dari Alif, Lam, Lam, dan Ha’, dapat kita maknai dengan Alif sebagai representasi Allah yang 1, yang kemudian mencipta Lam (semesta) dan Lam (manusia) yang diakhiri pada Ha’ yang fana, 0; kemudian berakhir pada tashdid kematian menuju Fathah yang dapat bermakna Allah yang 1. Seluruh rangkaian kata Allah juga dapat dimaknai dengan Allah yang 1, Alif sebagai representasi Allah, ketika Alif dihilangkan, menjadi kata Lillah yang juga berarti Demi Allah, dan pada saat Alif-Lam-Lam dihilangkan hingga tinggal Hu yang bermakna Dia (Allah). Semua merepresentasikan Allah yang 1 dan kekuasaan tak hingga (0).
Algoritma gagasan Al Khawarizmi yang “asli” tidak pernah melepaskan angka menjadi hanya angka atau simbol bagi penjelasan realitas maupun simbolisasi yang terkonstruksi. Baginya, dalam angka, unit, dan persamaan matematika pasti membawa spiritualitas itu sendiri. Jadi? Silakan memilih angka tetaplah angka material, atau angka itu material sekaligus Ilahiyah. Semua kembali kepada apa yang kita pahami sebagai kebenaran. Yang jelas saya masih memahami bahwa angka memang sejak dari sononya Ilahiyah. Wallahu a’lam.
Ajidedim – Singosari, 9 Rabiul Akhir 1440 ; 17 Desember 2018

AGENDA: TUHAN BUNUH DIRI


Kemajuan kemanusiaan Homo Sapiens dimulai saat terintegrasikannya kemampuan yang tidak dimiliki makhluk hidup lainnya, yaitu tulisan dan bahasa. Tulisan dan bahasa adalah simbol rasionalisasi logika pikiran di otak manusia, hingga membentuk peradaban pertanian/menetap, meninggalkan mentalitas hewan yang suka berburu dan mengumpulkan.
Di masa keemasannya homo sapiens manusia mulai mengenal Tuhan, hingga dipungkasi kemanusiaannya melalui Iqra’ Ketuhanan Rasulullah SAW di gua Hira’. Rasionalisasi, pikiran, tulisan, bahasa, termasuk angka di dalamnya hanyalah kuasa otak atas pemberdayaan semesta membangun peradaban dengan tetap menegaskan nilai Ilahiyah segala sesuatu, tanpa kecuali.
Ternyata, iqra’ belum cukup menyadarkan manusia. Kekuatan Iqra’ Ketuhanan yang “asali” masih harus ditegaskan melalui perjalanan Mi’raj spiritual Sang Nabi ke langit. Rasionalitas logis berjiwa langit itulah yang kemudian ditekniskan Al-Khawarizmi menjadi yang sekarang biasa disebut Algoritma.
Berbeda dengan matematika langitan, matematika dan Algoritma modern meninggalkan “langit” dan menjadi akar aliran liberalisme/kapitalisme dan tentunya komunisme yang saudara kandungnya itu. Dengan “sangu” rasionalitas dan materialitas puncak matematis logis mereka menderivasikannya pada seluruh aspek keduniaan seperti ekonomi, politik, hukum, sosial, dan lain sebagainya, yang makin kering ruh hakiki. Bukan hanya ekonomi seperti pertumbuhan hingga APBN penuh angka, politik, semuanya, termasuk cinta, bila dia tidak dikoneksikan dengan kepentingan dan rasionalisasi keterhubungan matematis, segera saja ditinggalkan.
Menarik pengalaman maestro matematika John Nash, yang awalnya memahami bahwa cinta itu harus terefleksi pada hubungan seks dengan puncak bertemunya cairan kebahagiaan. Di akhir masa tua, saat sambutan menerima penghargaan Nobel 1994, Nash memahami bahwa cinta tidak sekedar muncratan cairan, sudah lanjut memang tapi hanya material dan logika lanjut. Cinta adalah kebahagiaan, roso, saling percaya, saling membutuhkan, tetapi tetap saja, semua harus logis, rasional dipetakan dalam persamaan algoritma, algoritma cinta:
“I’ve made the most important discovery of my life. It’s only in the mysterious equation of love that any logical reasons can be found. I’m only here tonight because of you. You’re the only reason I am…you’re all my reasons.”
Liberalisme paling mutakhir, melampaui realitas material, mencapai realitas supra-material dengan meng-algoritma-kan ruang psikis dan roso kemanusiaan termasuk intensi bahkan cinta. Manusia individual sudah kuno, manusia algoritma bersifat dividual, manusia yang tersusun dari agoritma rasa, batin sekaligus rasional terkoneksi membentuk jejaring pikiran dan intensi konkret. Yang tidak konkret harus dibunuh, bahkan Tuhan, apalagi hanya malaikat, selama bisa masuk dalam persamaan dan bisa dihitung, dikreasi, dan dinarasikan secara rasional.
Pantas mereka bahagia dengan simbol kesombongan ketuhanan manusianya hingga berani mengatakan dirinya adalah Homo Deus, Manusia Tuhan. Secara teknologis, diri diformat dan dipetakan melalui matematisasi segala rasa sesuatu. Berdasar desain algoritmik kebahagiaan yang mendesain diri matematis atas manusia itulah mereka tanpa sadar atau mungkin penuh kesadaran, mendorong bunuh diri Tuhan dalam dunia angan religiositas baru mereka.
Algoritma genuine dari Muhammad bin Musa alias Al Khawarizmi tidak pernah melepaskan substansi angka menjadi hanya angka atau simbol bagi penjelasan yang terkonstruksi. Baginya, di dalam angka, unit, dan persamaan matematika pasti membawa spiritualitas itu sendiri. Sedang bagi para Homo Deus penerus ajaran utama Al Khawarizmi menegaskan angka, unit, persamaan sudah jadi barang basi.
Tuhan sudah berhasil dibunuh, nasib agama-agama dengan Tuhan yang sudah mati pasti tinggal menunggu waktu historis saja, menunggu hilangnya agama di muka bumi, digantikan Agama Baru, Agama Data, agama-tekhno. Agama Baru yang membawa visi penyelamatan melalui alogaritma dan gen.
Selamat menikmati Intensi Algoritmik, untuk menegaskan kematian Tuhan. Selamat berjamaah membuat Tuhan Bunuh Diri, menyambut miliaran manusia yang beralih diri menjadi Tuhan-Tuhan Baru bernama Homo Deus, yang katanya melampaui kuasa dan kecerdasan-Nya.
Ajidedim
Singosari, Ahad, 8 Rabiul Akhir 1440 H

KISAH ABADI DALANG DAN WAYANG


KISAH ABADI DALANG DAN WAYANG:
Mendendangkan Lagu SWAMI di Masa Baru
Kasian memang, di tengah memanasnya politik menjelang mengerucutnya calon-calon Presiden yang akan dipilih oleh ratusan juta masyarakat dalam Pilpres 2019 mendatang kita masih jadi mainan para dalang yang rajin menyorongkan para wayang. Model dalang dan wayang bertebaran di media sosial sekarang sepertinya hanyalah pengulangan dominasi historis tak habis-habisnya. Pesan moral beginian sepertinya juga pernah muncul di negeri kita, bahkan sudah pernah didendangkan SWAMI. SWAMI adalah grup kolaborasi musisi Indonesia kritis kawakan seperti Iwan Fals, Sawung Jabo, Naniel, Nanoe, dan Innisisri, plus Jockie Surjoprajogo.

Baca lebih lanjut

2024 bukan 2030


Pasrah di tahun 2030 mengikuti novel yang ujungnya berkeping-keping atau analisis ekonomi yang katanya jadi 7 negara hebat dunia padahal jadi pasar asing, sama saja para pemimpin di negeri ini mengajari rakyatnya jadi pemalas dan sub-ordinat bangsa lain seumur hidupnya.

Desain 2024 Hijrah Untuk Negeri yang terbit 2016 dan masuk cetakan kedua ini tidak melihat kedua skenario itu penting.

2024 memandang lebih pada membangkitkan jati diri negeri, bukan jadi buih tapi jadi ombak yang menggulung lautan di 20 kota 24 tempat…WhatsApp Image 2018-03-30 at 00.17.20.jpeg